Namanya Elizabeth Indarsih Widiati, biasa dipanggil Ibu Iin. Pertama kali aku diajarnya Fisika adalah kelas 1 SMP di St. Aloysius. Juga di kompleks sekolah yang sama, kelas 2 SMA, aku juga diajar Fisika oleh Beliau. Orangnya ramah dan suka tersenyum. Beliau selalu berusaha untuk dicintai oleh murid-muridnya dan menurutku, dia sukses,
Sewaktu SMP, aku diajari bagaimana mengerjakan essay Fisika secara sistematis. Cara Beliau menjelaskan begitu rapi. Fisika menjadi tampak mudah bagiku. Hal inilah yang menumbuhkan kecintaanku kepada ilmu Fisika. Seperti kata Ki Hajar Dewantara, "ing madya mangun karsa", Beliau memberiku dasar yang kuat dalam Fisika. Hal ini membuatku sintas (survive) di SMA dan kemudian di masa kuliah, baik di ITB maupun di Uni Bremen.
Selain Fisika, Beliau juga senang dengan kebudayaan Indonesia, terutama tarian daerah. Sewaktu ada Malam Gembira (MG) SMP St. Aloysius, Beliau mengajak siswa-siswa kelas 1 PF (kelasku) untuk menari untuk acara MG. Sebagai koreografer, Beliau menggabungkan tari Saman dengan tari Kecak. Aku lupa berapa siswa yang ikut: Arief, Wandy, Emil, Kuni, dll. Kami berlatih bersama di GEMA untuk tampil di MG di Aula.
Kesamaan tari Kecak dan Saman, ada pada tangan mengangkat ke atas. Perbedaannya adalah tari Saman itu berpakaian dan tari Kecak itu telanjang dada. Saat tampil di atas panggung MG, kami menggunakan kostum Kecak, tapi menari tarian yang dicampur Saman. Di situlah kami memperoleh pendidikan mengenai pentingnya deodoran, hehehe. Sebetulnya aku pemalu dan waktu itu, aku gemuk (Emangnya sekarang tidak gemuk). Berdiri di atas panggung dan topless depan banyak orang betul-betul tantangan mental (selain tantangan aroma tubuh). Walau punya demam panggung, tapi karena ada kawan-kawan lain yang tampil bareng, aku bisa menari. Pendidikan Ibu Iin yang ini membuatku selalu tampil "on stage" di MG SMP. Beliau saat itu mendidikku untuk berjuang "push to the limit" dan menghadapi rasa takut serta keraguan. Jika seseorang mau maju, dia harus berjuang semaksimal mungkin melewati segenap keterbatasan.
Kemudian Beliau tidak mengajar SMP lagi, tetapi pindah ke SMA. Aku diajarinya Fisika lagi di kelas 2 SMA. Mengajar SMA lebih berat daripada mengajar SMP. Ibu Iin memiliki kelebihan dan kekurangan, yaitu Beliau berusaha untuk dicintai oleh murid-muridnya. Sewaktu SMA, angkatanku termasuk angkatan brutal. Angkatanku harus ditaruh di kelas yang selalu bisa diawasi oleh Big Brother dan hukuman militeristik olah raga selalu terjadi tiap hari di kelas yang berbeda. Kadang-kadang ada guru yang menampar siswa. Bu Iin selalu berusaha dicintai murid-muridnya tetapi siswa-siswi SMA memanfaatkan sifat Beliau ini. Suatu hari, kesabarannya habis, Beliau marah tapi siswa-siswi tetap cuek. Saat itulah, Beliau belajar bagaimana menjadi guru yang manis dan guru yang tegas dengan suatu keseimbangan.
Ketika aku masih "fresh" baru lulus kuliah di Bandung, aku menjemput teman yang pulang ekskul di sekolahku ini. Aku bertemu Bu Iin lagi. Kebetulan aku masih pengangguran, Bu Iin memberiku info mengenai posisi guru praktikum Fisika di sana. Aku pun melamar pekerjaan ini dan diterima setelah melalui proses wawancara dan test psikologi. Menjadi guru di sekolahku sendiri melengkapi hal-hal yang tak kudapat ketika aku masih sekolah di sana. Aku belajar banyak mengenai suka-duka guru-guru lain. Aku belajar memandang guru sebagai manusia biasa, pekerja, orang tua, rekan kerja, dll. Mereka bukan hanya tokoh depan kelas yang sewaktu depan kelas dipuja sebagai sumber ilmu atau dianggap musuh ketika mereka bertindak tak sesuai keinginan kita. Bu Iin berbeda dengan dulu sewaktu aku masih SMA. Beliau sudah menemukan sosok guru bagi dirinya. Beliau sudah bisa menjadi guru yang tegas sekaligus dicintai murid-muridnya.
Menjadi guru adalah cita-citaku. Tapi menjadi guru di suatu SMA, kurasakan tidak akan membuat diriku maju. Aku ingin bergiat di ilmuku, yaitu Teknik Elektro. Didikan Ibu Iin mengenai "push to the limit" membuatku untuk selalu bergerak melewati batasan mental diriku. Aku sudah cukup memperoleh ilmu, bagaimana menjadi pengajar dan bagaimana seorang pengajar belajar di SMA ini. Lalu aku berhenti dari sekolah ini dan menjadi dosen Teknik Elektro di perguruan tinggi swasta di Semarang.
Sekarang, aku bukan dosen lagi. Juga tidak mengajar lagi. Sebagian diriku mati ketika aku menerima email itu, yang menyatakan aku bukan pengajar lagi. Cita-citaku jadi pengajar pupus. Tapi Bu Iin pernah membuatku naik panggung walaupun aku merasa "on stage" bukanlah tempat yang cocok buatku. Aku belajar bahwa kita harus berani mencoba satu jalan yang belum pernah dilewati. Ketika jalan hidupku menjadi pengajar ditutup, aku mencoba menempuh jalan lain, yaitu jalan hidup Engineer. Kini aku menjadi engineer di negeri seberang. Aku berusaha bekerja secara sistematis dan rapi sesuai didikan Bu Iin.
Terima kasih atas semua didikanmu, Bu Iin!
Nürnberg yang cerah, 6 Januari 2012